Akhirnya, saya bisa mengerjakan sesuatu yang telah lama ingin saya lakukan dalam empat hingga lima tahun terakhir, yaitu berkecimpung dalam jurnalisme. Julia Winterflood (konsultan kehumasan dan komunikasi)īaru-baru ini, saya kehilangan beberapa klien terbesar dari sektor pariwisata sebagai seorang konsultan hubungan masyarakat dan komunikasi. The Atlantic menyediakan laporan ilmiah yang sangat baik mengenai COVID-19 dan saya mengikuti berita-berita ini karena menaruh minat pada kesehatan masyarakat. Saya menonton film dokumenter Pina (2011 mengenai Pina Bausch, penari dan koreografer Jerman) serta Run With the Wind (1966). Mereka mengingatkan saya kembali bahwa masa-masa krisis adalah suatu hal yang tak jarang kita alami dan bahwa kita semua memiliki kemampuan setara untuk merasakan keputusasaan, kemarahan dan harapan. Sambil kita semua terjebak di rumah dan lebih jarang berolahraga daripada biasanya, melihat tubuh-tubuh bergerak dan berinteraksi dengan bebas dalam ruang memberikan efek katarsis.īelakangan saya juga menikmati karya-karya puisi lewat Twitter – Ilya Kaminsky, Eavan Boland, Scheherazade Siobhan, Fatimah Asghar, Safia Elhillo, Warsan Shire dan Ocean Voung – yang terkadang muram, penuh kesendirian atau penuh harapan. Untuk menghabiskan waktu saya melakukan yoga, jalan pendek, menggambar, mendengarkan musik dan menonton film, terutama yang mengangkat masalah olahraga dan tarian. Saya pikir semua orang saat ini sangat merindukan keterhubungan dengan sesamanya dan untungnya pada saat ini kita punya banyak wadah untuk berkomunikasi melalui internet. Tiba-tiba, saya sering berkontak secara berkala dengan teman-teman yang sudah bertahun-tahun tak pernah saya kirimi pesan atau telepon. Sangat sulit mempertahankan tingkat produktivitas seperti semula di tengah kemurungan karena pandemi ini. Aku suka menonton kembali film-film yang sudah pernah kutonton, seperti Call Me By Your Name (2018). Tapi aku tetap mencoba membuat kerajinan tangan, menonton film, membaca buku, menggambar, memasak, berkebun dan mampir ke rumah ibu serta berenang di sana karena rumahnya dekat. Sebagai pedagang aku harus bikin banyak inovasi barang dan jasa berbasis layanan pesan antar untuk usaha kopiku tidak mau, harus penyesuaian jam operasional dan insentif karyawan karena pendapatan merosot tajam. Banyak acara dan pendampingan riset di lapangan pun dibatalkan sehingga harus mencari sumber pendapatan lain. Meskipun sudah terbiasa kerja dari rumah, kondisi baru ini punya efek lain untuk kesehatan mental, ya. Secara pribadi, aku mengalami kecemasan tiada henti.
Putri Cantika (aktor, peneliti, desainer, seniman, pengelola Kopi Kebun) Demikian cerita yang ingin dibagikan oleh sebagian dari kami, semoga bisa membantu:į.S. Sementara itu, kami di InterSastra juga memiliki cara kami masing-masing untuk tetap bertahan hidup pada saat-saat sulit ini. Karena itulah kami senantiasa bekerja tidak hanya untuk menghadirkan karya baru untuk kita nikmati dan resapi, tapi juga memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang seringkali tidak diberi kesempatan untuk berkesenian, menikmati seni, dan menceritakan kisahnya dan sudut pandangnya sendiri. Namun, kami di InterSastra percaya bahwa dalam keadaan paling menekan sekalipun, seni dan sastra bisa memberikan obat penawar, cukup untuk menyalakan semangat hidup bahkan bila hanya sesaat saja. Belum lagi para perempuan dan anak-anak yang terpapar kerentanan lebih tinggi untuk mengalami kekerasan–risiko terjadinya kekerasan diperparah oleh keadaan ekonomi dan sosial yang semakin menekan–di saat mereka semua tidak punya pilihan lain selain terkurung di rumah untuk waktu berkepanjangan dengan pelaku kekerasan.ĭalam keadaan seperti ini, sangat mudah bagi semua orang untuk tenggelam dalam rasa sedih atau putus asa. Menurut perkiraan dari ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Aviliani, apabila kelumpuhan ini berlanjut hingga Juli 2020, sekitar 3 hingga 5 juta pekerja Indonesia terancam kehilangan sumber mata pencahariannya: 100 juta orang Indonesia yang kini berstatus kelas menengah dapat jatuh ke garis kemiskinan sementara 70 juta yang sudah miskin bisa jatuh ke taraf kemiskinan ekstrem.īelum lagi kalau kita memikirkan betapa banyaknya orang yang sedang berkabung di saat ini karena ditinggal oleh anggota keluarga atau sahabat tercinta sebagai akibat dari penyakit Covid-19 ini, saat pemberlakuan pembatasan fisik menghalangi mereka untuk mendapatkan dukungan sosial yang sangat mereka butuhkan di saat-saat berduka. Kelumpuhan kegiatan ekonomi berskala besar ini telah memukul banyak sekali pekerja, terutama dari sektor usaha kecil dan menengah serta kreatif, tapi sejatinya tidak ada pekerja dari sektor manapun yang kebal dari dampak ini.
Tanpa terasa telah lima bulan kita semua menjalani pembatasan sosial berskala besar di Indonesia, sebagai upaya untuk memutus rantai penularan Covid-19.